Mantan Sekjen Partai Golkar Dituntut 5 Tahun Penjara
Porosberita.com, Jakarta – Mantan Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham dituntut lima tahun penjara terkait kasus suap proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai Idrus terbukti bersama-sama dengan anggota Komisi VII DPR dari fraksi Partai Golkar non-aktif Eni Maulani Saragih menerima hadiah sejumlah Rp2,25 miliar dari pengusaha Johanes Budisutrisno Kotjo.
“Pidana penjara selama lima tahun dan pidana denda Rp300 juta subsider 4 bulan kurungan,” kata jaksa penuntut umum (JPU) KPK, Lie Putra Setiawan di pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (20/3/2019).
Idrus didakwa melanggar pasal 12 huruf a UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Adapun memberatkan, yakni perbuatan Idrus tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas tindak pidana korupsi.
Sementara yang meringankan terdakwa, berlaku sopan selama pemeriksaan di persidangan dan terdakwa belum pernah dipidana sebelumnya. Serta terdakwa tidak menikmati hasil kejahatannya.
Dalam tuntutan JPU, Idrus terbukti menerima suap Rp 2,250 miliar. Uang tersebut diberikan oleh pengusaha sekaligus salah satu pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited, Johannes Budisutrisno Kotjo.
Uang tersebut diberikan agar mantan Wakil Ketua Komisi VII Eni Maulani Saragih membantu Kotjo mendapatkan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang (PLTU) Riau 1.
Adapun proyeknya akan dikerjakan PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PT PJBI), Blackgold Natural Resources dan China Huadian Engineering Company Ltd yang dibawa oleh Kotjo. Awalnya, Kotjo melalui Rudy Herlambang selaku Direktur PT Samantaka Batubara mengajukan permohonan dalam bentuk IPP kepada PT PLN Persero terkait rencana pembangunan PLTU.
Tapi, karena tidak ada kelanjutan dari PLN, Kotjo menemui Ketua DPR sekaligus Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto. Kepada Novanto, Kotjo meminta bantuan agar dapat dipertemukan dengan pihak PLN. Menyanggupi permintaan Kotjo, Novanto mengenalkan Kotjo dengan Eni yang merupakan anggota Fraksi Golkar yang menaungi Komisi VII DPR, yang membidangi energi.
Selanjutnya, Eni melakukan pertemuan antara Kotjo dan pihak-pihak terkait, termasuk Direktur Utama PLN Sofyan Basir. Hal itu dilakukan Eni untuk membantu Kotjo mendapatkan proyek PLTU. Menurut jaksa, penyerahan uang dari Kotjo kepada Eni atas sepengetahuan Idrus Marham. Saat itu, Idrus menjabat sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Umum Golkar, lantaran Setya Novanto tersangkut kasus korupsi pengadaan KTP-elektronik (KTP-el).
“Terdakwa sebagai Plt Ketua Umum saat itu, Eni menyampaikan kepada terdakwa akan menerima fee dari Kotjo 2,5 persen berasal dari proyek akan diterima dari Kotjo. Pemberitahuan Eni, terdakwa meminta Eni selaku Bendahara Munaslub meminta uang untuk pelaksanaan karena ada rencana terdakwa akan diusung untuk menggantikan Setya Novanto Ketum Golkar,” jelas Jaksa Lie.
Setelah itu, Idrus mengarahkan Eni untuk meminta uang 2,5 juta dolar AS kepada Kotjo. Uang itu digunakan untuk keperluan Munaslub Golkar, di mana Eni menjabat Bendahara Munaslub. Mantan Menteri Sosial itu juga disebut meminta agar Kotjo membantu keperluan pendanaan suami Eni Maulani saat mengikuti pemilihan kepala daerah.
Usai menjalani persidangan, Idrus mengaku kecewa dengan tuntutan Jaksa KPK. Menurut Idrus, tuntutan yang diajukan Jaksa KPK sama persis dengan dakwaan dan tidak sesuai dengan keterangan para saksi di persidangan.
“Di awal persidangan saya sampaikan bahwa dakwaan itu prinsip-prinsip dasar dengan dugaan kepada saya dalam perkara dan ini diuji di persidangan jadi fungsi persidangan menguji dakwaan itu. Apakah dakwaan itu benar atau tidak diuji dipersidangan ini. Nah kalau tuntutannya adalah copy paste dari dakwaan, itu nanti pakar-pakar hukum di Indonesia bisa menjelaskan, civitas akademika bisa memahas masalah ini, loh,” kata Idrus.
Selain itu, bila memperhatikan fakta-fakta di persidangan sangatlah jauh berbeda dengan tuntutan atas dirinya.
Dalam perkara ini, Eni Maulani Saragih telah divonis 6 tahun penjara ditambah denda Rp200 juta subsidair dua bulan kurungan ditambah kewajiban untuk membayar uang pengganti sebesar Rp5,87 miliar dan $Sin40 ribu dolar.
Sedangkan Johanes Budisutrisno Kotjo diperberat hukumannya oleh Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta menjadi 4,5 tahun penjara ditambah denda Rp250 juta subsidair 6 bulan penjara. (wan)