Utang LN Indonesia Capai Rp5.540 Triliun
Porosberita.com, Jakarta – Utang luar negeri (ULN) Indonesia per Juni 2019 mencapai 391,8 miliar dolar AS atau sekitar Rp5.540 triliun (asumsi kurs tengah Bank Indonesia akhir Juni Rp14.141 per dolar AS). Utang tersebut terdiri dari utang pemerintah dan bank sentral sebesar USD 195,5 miliar, serta utang swasta (termasuk BUMN) sebesar USD 196,3 miliar.
Bank Indonesia (BI) mencatat, ULN Indonesia tersebut tumbuh 10,1 persen (yoy) dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya (year on year/yoy).
Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia Onny Widjanarko menyatakan kondisi itu terutama dipengaruhi oleh transaksi penarikan neto ULN dan penguatan nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS sehingga utang dalam Rupiah tercatat lebih tinggi dalam denominasi dolar AS.
“Peningkatan pertumbuhan ULN terutama didorong oleh ULN pemerintah, di tengah perlambatan ULN swasta,” jelas kata Onny di Jakarta, Kamis (15/8/2019).
Menurutnya, pertumbuhan ULN pemerintah meningkat sejalan dengan persepsi positif investor asing terhadap kondisi perekonomian Indonesia.
Posisi ULN pemerintah pada akhir triwulan II 2019 tercatat sebesar USD 192,5 miliar dolar AS atau tumbuh 9,1 persen (yoy), meningkat dibandingkan dengan pertumbuhan pada triwulan sebelumnya sebesar 3,6 persen (yoy).
Dikatakan Onny, kepercayaan investor terhadap perekonomian Indonesia yang semakin meningkat. hal ini seiring dengan kenaikan peringkat utang Indonesia oleh Standard & Poor’s pada akhir Mei 2019, mendorong pembelian neto Surat Berharga Negara (SBN) domestik dan global oleh nonresiden pada triwulan II 2019.
“Pengelolaan ULN pemerintah diprioritaskan untuk membiayai pembangunan, dengan porsi terbesar pada beberapa sektor produktif yang dapat mendukung pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat,” kata Onny.
Secara rinci dijelaskan sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial (18,9 persen dari total ULN Pemerintah), sektor konstruksi (16,4 persen), sektor jasa pendidikan (15,9 persen), sektor administrasi pemerintah, pertahanan, dan jaminan sosial wajib (15,2 persen), serta sektor jasa keuangan dan asuransi (14,0 persen). (nto)