Komnas HAM Terkendala Data Pendukung
Porosberita.com, Jakarta – Permasalahan Pelanggaran HAM Berat di masa lalu nampaknya masih menjadi persoalan yang tak kunjung selesai sampai sekarang, bahkan terkesan tidak terurus. Padahal hal tersebut merupakan amanah konstitusi yang harus di laksanakan. Keberadaan Komnas HAM sebagai institusi yang menangani masalah ini, kenyataannya banyak mengalami kendala, diantaranya mengenai data pendukung korban.
Demikian di sampaikan Amirudin Al Rahab Komisioner Komnas HAM, saat menjadi Narasumber di acara diskusi tentang Pelanggaran HAM Berat di masa lalu yang di gelar di ruang S&T Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Kamis,(5/12/2019).
“Dalam Undang Undang HAM, Komnas HAM punya kewenangan sebagai penyidik masalah Pelanggaran HAM, namun realitasnya hasil akhir penyelesaian berbagai kasus di masa lalu, tergantung pada goodwil dari Pemerintah, dan juga hasil pengadilan HAM” ucap Amirudin.
Di tambahkan oleh Amirudin bahwa Komnas HAM menyambut baik wacana yang di lontarkan Menkopolhukam Prof Mahfud MD, terkait rencana pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) untuk menyelesaikan Pelanggaran HAM Berat di masa lalu.
“Sebenarnya soal Undang Undang tentang KKR ini sudah terbentuk di tahun 2006, namun Undang Undang tersebut di anulir Mahkamah Konstitusi, sehingga berimplikasi mandeknya Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat di masa lalu” tukas Amirudin.
Hal senada juga di sampaikan Suryo Susilo Ketua Forum Silahturahmi Anak Bangsa (FSAB), yang dalam paparannya sebagai pembicara di acara tersebut mengatakan bahwa penyelesaian berbagai kasus Pelanggaran HAM Berat di masa lalu, tidak semuanya dapat diselesaikan melalui Peradilan HAM, melainkan juga bisa melalui cara diluar pengadilan.
Menurut Susilo, Indonesia memiliki beberapa contoh cara menyelesaikan konflik dengan landasan musyawarah, yang merupakan kearifan lokal, antara kain Pela gandong di Maluku dan Bakar batu di Papua. Tidak harus meniru cara negara lain, yang konteks dan budayanya berbeda. “Cara penyelesaiaan pelanggaran HAM berat di negara lain dapat dijadikan referensi, tapi perlu juga menggali cara penyelesaian dari kearifan lokal yang kita miliki.”
“Kalau pemerintah bermaksud membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, sebagai wadah musyawarah untuk menyelesaikan Pelanggaran HAM Berat di masa lalu, tentu baik, tetapi harus tetap berpedoman pada Pancasila dan UUD 1945” kata Susilo.
Susilo menambahkan, “Sebelum Hak Asasi Manusia dideklarasikan PBB tahun 1948, Indonesia telah memiliki Pancasila pada tahun 1945, khususnya sila kedua Pancasila”.
Sila kedua Pancasila yaitu Kemanusiaan yang adil dan beradab tidak bersifat individualis yang hanya mengedepankan hak asasi manusia, melainkan juga kewajiban manusia sebagai makhluk sosial” pungkas Susilo. (wan)