Mon. Dec 9th, 2024

MUI : Indonesia Tidak Tegas Soal Rohingya

Porosberita.com, Jakarta – Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengkritik sikap Pemerintah Republik Indonesia yang dianggap kurang tegas terkait dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dilakukan pemerintah Myanmar kepada etnis Rohingya di Negara Bagian Rakhine. Ketua MUI Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional, Muhyiddin Junaidi, menilai Indonesia kalah dengan Gambia yang berani membawa masalah itu ke Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ).

“Indonesia sudah sebagai negara di DK PBB dan sangat terhormat posisinya di OKI (Organisasi Kerja Sama Islam). Saya pikir sudah tepat sekali, kalau dia sudah melakukan sesuatu. Masa kalah dengan Gambia. Gambia yang maju, harusnya kan kita yang maju,” kata Muhyiddin saat ditemui di Kantor MUI Pusat, Jakarta, Selasa (17/16/2019).

Muhyiddin menilai sudah saatnya Indonesia bersikap lantang atau yang ia sebut dengan megaphone diplomacy. Sebab menurut dia, diplomasi yang dilakukan Indonesia saat ini terlalu lembut dan cenderung tak dihiraukan Myanmar.

Muhyiddin menyatakan memahami Indonesia menganut asas politik luar negeri bebas aktif yang enggan mengintervensi urusan negara lain. Namun menurutnya perlakuan Myanmar terhadap etnis Rohingya sudah kelewat batas sehingga dia berahrap Indonesia mengambil langkah lebih berani.

“Masalah human rights, hak asasi manusia itu tidak punya boundary-nya, tidak punya batasan. Apalagi masalahnya sudah sangat jelas dan terekspos ke dunia internasional, dan yang menjadi sasarannya adalah umat Islam. Sangat tepat kalau Indonesia melakukan sesuatu,” ujar dia.

Gambia menggugat Myanmar terkait dugaan persekusi dan pembantaian terhadap etnis Rohingya ke Mahkamah Internasional. Sidang audiensi perdana digelar di Belanda pada 12 Desember lalu.

Dalam sidang tersebut, Gambia meminta Mahkamah Internasional mendesak Myanmar menghentikan genosida terhadap etnis minoritas Muslim Rohingya.

“Satu hal yang Gambia minta adalah Anda (hakim ICJ) perintahkan Myanmar untuk menghentikan pembunuhan tanpa dasar, menghentikan aksi barbar, menghentikan genosida terhadap rakyatnya sendiri,” ucap Menteri Kehakiman Gambia Abubaccar Tambadou di depan hakim ICJ di Den Haag, Belanda.

Akan tetapi, Pemimpin Myanmar yang juga peraih Nobel perdamaian, Aung San Suu Kyi membantah tuduhan tersebut. Dia hanya mengakui ada kemungkinan tentara Myanmar telah menggunakan kekuatan secara berlebihan.

Di depan majelis hakim, peraih Nobel Perdamaian 1991 itu menolak tuduhan Gambia bahwa operasi militer Myanmar pada 2017 lalu merupakan upaya untuk memusnahkan Rohingya.

“Sangat disayangkan Gambia telah menempatkan di hadapan pengadilan sebuah gambaran yang menyesatkan dan tidak lengkap tentang situasi di negara bagian Rakhine,” kata Suu Kyi.

“Myanmar meminta pengadilan untuk menghapus kasus itu dari daftar. Pengadilan harus menolak permintaan tindakan sementara yang diajukan oleh Gambia,” lanjut Suu Kyi.

Lebih dari 730 ribu etnis Rohingya melarikan diri dari Myanmar ke Bangladesh setelah diburu aparat. Penyelidik PBB mengatakan sekitar 10 ribu orang kemungkinan tewas dalam aksi brutal militer Myanmar.

Krisis kemanusiaan etnis Rohingya dipicu oleh operasi militer Myanmar yang ingin meringkus kelompok teroris pelaku penyerangan sejumlah pos keamanan di Rakhine pada pertengahan 2017. Demikian dilansir dari CNN indonesia.com. (nto)

About Author