Empat Poin krusial Revisi UU KPK
Porosberita.com, Jakarta – Revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) kembali digulirkan di Rapat Paripurna DPR, Kamis (5/9/2019). Ada empat poin krusial yang belakangan memang menjadi alasan revisi ini menjadi alot sejak 2010.
Empat poin krusial tersebut berkaitan dengan keberadaan dewan pengawas, aturan penyadapan, kewenangan surat penghentian penyidikan perkara (SP3), dan mengenai status pegawai KPK.
Dalam laporan pimpinan Badan Legislasi (Baleg) DPR yang ditandatangani Ketua Baleg Supratman Andi Agtas yang salinannya beredar di kalangan wartawan sejak Rabu (4/9/2019), ada memang enam poin perubahan yang mengemuka, termasuk dua lainnya mengenai kedudukan KPK sebagai penegak hukum cabang kekuasaan eksekutif, dan posisi KPK selaku lembaga penegak hukum dari sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia.
Kewenangan Dewan Pengawas
Dari telaah pada rancangan revisi UU KPK yang diterima redaksi, frase Dewan Pengawas muncul 27 kali di sejumlah pasal. Dewan Pengawas dalam rancangan revisi tersebut punya peran besar dalam merestui tindak KPK mencegah hingga memberantas korupsi.
Penjelasan mengenai Dewan Pengawas merupakan BAB baru yang disisipkan dalam rancangan revisi UU KPK.
Pada BAB V pasal 37, Dewan Pengawas dijelaskan merupakan lembaga nonstruktural, berjumlah lima orang. Tugasnya mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK.
Pada pasal ini, Dewan Pengawas ‘dikuatkan’ dengan kewenangan memberi atau menolak izin KPK melakukan penyadapan, penggeledahan, dan atau penyitaan. KPK bahkan perlu mendapat restu melalui izin tertulis.
“Pimpinan KPK wajib meminta izin tertulis kepada Dewan Pengawas untuk melakukan penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat 1,” bunyi di rancangan revisi UU KPK, pasal 12 ayat 1.
Penyadapan
Selain penyadapan mesti mendapatkan izin dari Dewan Pengawas, rancangan revisi UU KPK juga diketahui membatasi durasi penyadapan. Padahal diketahui sebelumnya, UU KPK Tahun 2002 tak memuat soal itu. Pasal 12 hanya berbunyi: Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan.
Dalam rancangan revisi, ada penambahan poin dalam pasal 12. Salah satunya menyebut penyadapan oleh KPK hanya bisa dilakukan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak izin tertulis dari Dewan Pengawas diterima.
“dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu yang sama,” bunyi rancangan revisi untuk pasal 12.
Masih dalam rancangan revisi pasal penyadapan, bunyi pasal 12b menyebut hasil penyadapan mesti dipertanggungjawabkan kepada Pimpinan KPK, dan juga Dewan Pengawas paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak penyadapan selesai.
Hasil penyadapan yang tidak terkait dengan Tindak Pidana Korupsi, wajib dimusnahkan seketika.
“Dalam hal kewajiban sebagaimana dimaksud (bukan berkaitan korupsi) tidak dilaksanakan, pejabat dan/atau barang siapa yang menyimpan hasil penyadapan dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” bunyi pasal selanjutnya di Pasal 12D.
Kewenangan menghentikan penyidikan/SP3
Pada UU KPK sebelumnya ditegaskan bahwa KPK tidak memiliki kewenangan untuk menghentikan penyidikan.
Pada rancangan revisi UU tersebut, DPR pada akhirnya menambahkan kewenangan KPK untuk menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara, dengan catatan pengusutan kasus tersebut tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
“Penghentian penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaporkan kepada Dewan Pengawas paling lambat 1 (satu) minggu terhitung sejak dikeluarkannya surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan,” bunyi pasal 40 ayat 2.
Status Pegawai KPK
Dalam rancangan revisi, pada pasal 1 poin 7 sudah ditegaskan bahwa Pegawai KPK adalah PNS dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dan peraturan perundang-undangan di bidang aparatur sipil negara.
Artinya, pasal itu bertolak belakang dengan ketentuan dalam UU sebelumnya, ketika KPK memiliki kewenangan membuat tata cara dan syarat menjadi pegawai melalui surat keputusan KPK.
“Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan anggota korps pegawai Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” bunyi rancangan revisi pasal 24,
Terjadi perubahan dalam rancangan pasal tersebut. Salah satunya, menjelaskan bahwa penyidik KPK merupakan penyidik yang diangkat dari Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Agung Republik Indonesia, dan penyidik pegawai negeri sipil yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang. Demikian dilansir CNN Indonesia.com. (wan)