Said Didu VS LBP : Mewakili Kepentingan Siapa ?

Dr.TB.Massa Djafar
Oleh: Dr.TB.Massa Djafar
(Dosen Pascasarjana Ilmu Politik UNAS dan aktivis politik)
Porosberita.com, Jakarta – Drama konflik politik Negara vs Masyarakat kembali mencuat pasca Orde Baru. Yang menarik konflik kepolitikan masa authoritarian itu, justru terjadi dalam era demokrasi-reformasi. Berawal dari kritik Said Didu diarahkan ke Luhut Binsar Panjaitan (LBP), Menteri Koodinator Pembangunan Maritim. Said Didu mengecam kebijakan LBP, yang dianggap tidak berpihak kepda kepentingan anak bangsa.
Ditengah wabah Covid 19, kebijakan LBP dianggap publik kontroversial. Yaitu, justru membuka jalan seluas-luasnya bagi Tenaga Kerja Asing (TKA) China masuk ke tanah air. Dimana negara China adalah asal wabah pandemik mematikan itu. Disisi lain, Pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan Pembatasan Berskala Besar (PSBB) guna memutus mata rantai Covid 19. Langkah kebijakan LBP, dikritik oleh Said Didu, ia mengatakan LBP hanya memikirkan “uang,uang uang”. Kritikan Didu berujung, LBP mempolisikan Said Didu, karena dianggap mencemarkan nama baik dirinya.
Peristiwa ini mengundang kritik yang lebih luas terhadap arogansi LBP, terkesan aneh, apa yang dilontarkan Said Didu bagian dari fungsi sosial kontrol dari masyarakat. Yang menarik, Said Didu dipanggil ke Istana, dimana Jokowi langsung menyampaikan kepada Said Didu, dengan nada,menekan, apakah Said Didu bisa menghentikan kritik, karena orang yang dihadapi adalah orang kuat. Demikian penjelasan Said Didu dialog dengan Presiden Jokowi. Ancaman tersebut, segera mendapat kritik tajam dari mantan Presiden SBY, agar LBP tidak bersikap mengancam kepada pengkritik kebijakannya.
Drama konflik Said Didu dengan LBP, mempunyak implikasi yang sangat serius, tidak hanya karena terjadi dalam era demokrasi dan reformasi. Tetapi terkait, dengan soal kedaulatan dan kepentingan bangsa, dimana pembelaan terhadap kepentingan asing melampau batas. Bahkan, apalagi mengorbankan anak bangsa.
Model Kepolitikan
Jatuhnya Rejim Orde Baru dan munculnya kekuatan reformasi menyimpan harapan besar bangsa Indonesia akan menjadi negara yang lebih maju. Harapan besar itu, diterjemahkan dalam agenda reformasi. Pemerintah di era reformasi belum banyak membawa perubahan, kecuali dibidang politik. Adanya kebebasan Demokrasi dan HAM. Namun pemberantasan korupsi, pemerataan ekonomi dan kesejahteraan rakyat belum menunjukkan hasil signifikan. Malahan dari sisi lain, banyak aset negara yang dijual. Kondisi BUMN yang semakin terpuruk, dililit hutang.
Perubahan sebagian yang tampak hanya dipermukaan saja. Namun secara subtasi dan strategis jika kita telaah, secara fundamental struktur ekonomi politik tidak mengalami perubahan. Dimana hegemoni kekuatan ekonomi politik, pada konfigurasi kekuatan politik, kelompok Elit Tentara, Pengusaha Taipan, Politisi Partai Politik dan Kekuatan Modal Asing. Fenomena ini, dari analisis perpektif struktural, Negara adalah reperesentasi dari kekuatan ekonomi politik. Dalam istilah lain, yang cukup popular negara adalah reperesentasi kelompok oligarki. Yaitu, sekumpulan elit, mereka memiliki sumberdaya ekonomi juga sumberdaya politik. Sehingga Negara hanya menjadi alat kepentingan para oligarki. Negara Orde Baru, adalah representasi kelompok Elit Tentara, Pengusaha (Taipan), Kelompok elit Parpol, dan kekuatan modal asing.
Format kepolitikan Orde Baru itu tidak begitu tampak pada masa Presiden SBY yang berkuasa dua periode. Secara formal dan verbal SBY dikenal dengan jargon politik, dengan paradigm soft power. Oleh karenanya, penyelenggaran pemilu relative aman tidak terjadi koflik. Tidak muncul gugatan pemilu dan tidak terjadi kriminalisasi terhadap para tokoh-tokoh kritis atau oposisi. Juga, konflik horizontal. Namun, berbeda sekali ketika dalam era pemerintahan Sipil Presiden Jokowi. Peranan oligharki semakin mencekram. Karena itu, pertanyaan terjawab, mengapa oposisi tidak tumbuh. Dunia pers secara tidak langsung juga menunjukkan fenomena fungsi kontrol sosial madul. Karena, secara tidak langsung para oligharki juga pemilik media dan pemasang iklan terbesar dimedia online, eloktronik maupun cetak. Para oligarki juga pemegang saham partai politik, secara otomatis pengambilan keputusan di parlemen dibawah kendalinya.
Hegemoni Ekonomi Politik
Model kepolitikan sebagaimana yang digambarkan membuat parlemen dan pemerintahan tidak bisa diharap mampu menjalankan fungsi sebagaimana yang digariskan oleh konstitusi, yakni mengedepankan kepentingan rakyat sebagaimana spirit konstitusi 1945 dan Pancasila. Terlalu banyak untuk disajikan contoh, seperti mengapa Pertamina tak kunjung sehat dan semakin menguatnya mafia migas. BUMN milik negara ini hanya menjadi sapi perah para oligharki. Nasib Bulog juga demikian, tak kunjung bisa menjadi stabilisasi harga komoditas pangan. Bahkan disaat panen pemerintah justru impor beras.
Liberalisasi bidang pertambangan migas, kehutanan, sektor pangan, transportasi dan sektor setrategis lainnya, telah memunculkan kekuatan ekonomi politik, dimana kelompok ini menjadi kekuatan super power. Dibandingkan dengan kekuatan politik formal, yang mewakili aspirasi rakyat. DPR sebagai representasi rakyat tak mampu menjalankan sepenuhnya kebijakan pemerintah. Peningkatan hutang dan alokasi hutang, hampir tak ada pertanyaan atau kontrol terhadap alokasi dan distribusi pada sektor-sektor strategis. Termasuk bidang infra struktur.
Pertanyaan fundamental bisa diajukan. Apakah pembangunan infra struktur otomatis mendorong tumbuhnya ekonomi menengah bawah? Tapi, yang jelas, infrastruktur akan lebih banyak menguntungkan para investor dan pelaku ekonomi besar. Infra strukur akan memperlancar lalu litas barang dan jasa. Pengangkutan sumber daya alam, berarti pula eksploitasi kekayaan alam negeri tak terkontrol. Yang tumbuh adalah pelaku ekonomi besar dalam dan luar negeri. Kebijakan investasi yang akan memacu pertumbuhan adalah pengulangan pola lama, yang terjadi adalah eksploitasi kekayaan alam Indonesia.
Pastilah China mau memberi kontrak pinjaman hutang sampai 90 tahun. Karena keuntungan yang didapat berlipat ganda dari investasi yang ditanamkan. Ia akan mendapatkan bahan baku murah, ia akan mendapatkan dan menguasai pangsa pasar yang cukup luas. Pasar tempat mereka pejualan teknologi, dan produk-produk barang mulai dari otomotif, elektronik dan barang yang dikonsomsikan massal.
Hegemoni ekonomi politik yang sangat mencolok adalah investasi China. Peranan LBP adalah agen investasi China. Bahkan konon kabarnya, LBP sebagai decetion maker investasi china, ia juga sebagai pengusaha yang akan berkoloborasi dengan perusahaan China dibidang otomotif. Mitra bisnis ini membuat posisi LBP dalam pemerintahan menjadi aktor kunci dalam mengarhkan kebijkan pemerintah. Memberi ruang lebih besar kepada China. Karena itu, kontestasi politik dan stabilitas politik dipastikan dalam kendali pemerintah dan menguntungkan para oligharki.
Suara Said Didu Suara Rakyat
Kritik Said Didu atas realitas hegemoni ekonomi politik, atas arogansi LBP dianggap ringan-ringan saja. Justru menimbulkan reaksi balik, kemarahan LBP luar biasa dan dengan nada ancaman. Pemikiran kritis Said Didu secara politis sangat sensitif dan menohok kebijakan investasi China. Dimana LBP memainkan peran sebagai penjaga, mitra bisnis dan bahkan sebagai pengamanan investasi China. Disisi lain, ada kritik-krtik yang dianggap akan mendatangkan mara bahaya. Apalagi menggugat keculasan investasi. Dari argumen yang dikemukan Said Didu dan LBP, tampak terlihat kedua aktor ini mewakili kepentingan siapa?
Suara Said Didu adalah suara atau reperestasi rakyat yang membela kepentingan anak bangsa. Karena itu, Said Didu tak sendiri, ia mendapat dukungan dari beberapa tokoh bangsa, Prof.Dr Din Syamsuddin, Prof.Dr. Amin Rais, ratusan pengacara dan para aktivis. Sementara LPB menyuarakan kepentingan investor, dimana LBP mempunyai koflik kepentingan kelangsungan investasi China meskipun harus mengorbankan kepentingan anak bangsa. Argumen-argumen tak terbantahkan, memang ia membela kepentingan investasi China, contoh teranyar pemaksaan masuknya 500 TKA China ditengah wabag Covid 19.
Meskipun Partai Keadilan Sejahtera dan beberapa politisi di Senayan bersuara lantang menentang kebijakan LBP, namun suara mereka ibarat, seorang yang berteriak ditengah hutan belantara. Parlemen secara institusi tidak mengambil langkah-langkah politik, atau sekurangnya memanggil LBP meminta penjelasan atau pertangungjawaban. Dalam konstelasi politik hegemoni, suara vokal darimanapun, sekuat apapun tak bergeming dan mampu mempengaruhi kebijakan dalam sebuah bangunan kekuasaan oligharkis.
Dari perpektif relasi kekuasaan dalam format demokrasi, mengindikasikan melemahnya check and balances. Realitas politik semacam ini, tidak akan mengakibatkan terjadinya perubahan politik apapun. Sebab rejim hanya berorientasi pada pertumbuhan dan pengamanan investasi. Sehingga, authoritarian adalah pilihan politik yang harus diambil apapun resiko yang dihadapi oleh rejim penguasa.
Disisi lain suara Said Didu adalah representatif suara rakyat yang terus menggema dan terhubung dengan isu lain yang punya nilai strategis. Terlebih efek domino covid 19, posisi pemerintah semakin terjepit dengan persoalan krisis ekonomi dan beban hutang. Akumulasi kekecewaan rakyat mungkin jangka pendek mudah dipatahkan. Tapi tidah mudah untuk dibungkam, ibarat api dalam sekam. Perubabahan akan terjadi, dengan pola non demokratik ketika terjadi akumulasi krisis multidimensi, sebagaimana pengalaman 1997.
Wallahualam bisawab. (*)