Dakwaan JPU KPK Dalam Kasus Bakamla Dianggap ‘Ngawur’ Harus Dibatalkan

Porosberita.com, Jakarta – Dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus dugaan korupsi proyek Backbone Coastal Surveillance System di Badan Keamanan Laut (Bakamla) tahun 2016 yang menjerat Direktur Utama PT CMI Teknologi Rahardjo Pratjihno dianggap ngawur dan batal demi hukum.
“Kami selaku penasehat hukum berpendapat bahwa surat dakwaan JPU harusnya batal demi Hukum, karena tidak menguraikan secara cermat, Jelas, dan lengkap rumusan unsur-unsur pidana berdasarkan pasal yang didakwakan dan tidak menguraikan perbuatan materil yang didakwakan. Ini yang kami sampaikan pada sidang eksepsi kemarin 15 Juni 2020,” kata Saut Edward Rajagukguk, salah satu tim kuasa hukum Rahardjo kepada wartawan di Jakarta, Jumat (19/6/2020).
Menurut Saut, alasan mengapa dakwaan JPU harus dibatalkan, karena banyak kesalahan fatal dalam dakwaan JPU. Diantaranya, JPU salah menyebut nama perusahaan kliennya. “JPU ini salah alamat atau bukan klien kami yang dituju dan itu termasuk fatal, ngawur. Dalam dakwaan klien kami disebut Direktur PT Compac Microwave Indonesia Tehnologi yang disingkat PT CMI Tehnologi,” jelas Saut.
Dengan kesalahan itu, maka berdampak pada ketidaksesuaian bukti dan fakta persidangan. Sebab, dalam kontrak dengan Bakamla tidak ada nama PT Compac Microwave Indonesia Tehnologi. Selain itu, terdakwa juga tidak pernah mengaku sebagai Dirut PT Compac Microwave Indonesia Tehnologi. “Kalau bukti yang sudah disampaikan di persidangan tidak sesuai dengan dakwaan kan jadi aneh. Ini ada apa sebenarnya? jangan sampai klien kami dijadikan korban,” ujar Saut.
Di sisi lain, Saut juga mengungkapkan bahwa kliennya tidak ada niat untuk menjadi pemenang proyek di Bakamla tersebut. Selama ini, BIIS (program monitoring dan Analisa) yang merupakan Puskodalnya Bakamla tidak memiliki platform, Sehingga, Bakamla terpaksa harus menyewa dari pihak swasta atau perusahaan lain.
Belakangan, Bakamla tidak memperpanjang kontrak BIIS dengan perusahaan tersebut. Karana itu, Bakamla menggunakan BCCS, sehingga Puskodal Bakamla memiliki BIIS yang baru, yakni IMC-2-S (Integrated Monitoring Command and Control System) untuk menjaga keamanan laut. Terlebih kerap terjadi konflik di perairan Natuna dan di area ZEE (Zona ekonomi Ekslusif) Indonesia yang harus dijaga Bakamla.
“Nah, sebagai alat penjaga keamanan, IMC2-S akan dipasang IFF (Identification Frend of Foe) dan karenanya IMC2-S dalam dunia peperangan modern merupakan bagian dari Network Centrix Warfare (NCW). Karena ini termsauk alat pertahanan dan keamanan, maka tentu diatur dalam undang-undang dan itu ada dalam Undang –undang Nomor 16/2012 pasal 67 bahwa setiap orang dilarang memproduksi alat peralatan pertahanan dan keamanan tanpa ijin menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang Pertahanan dan sanksi pidananya diatur dalam pasal 72 UU No. 16/2012,” terang Saut.
Sedangkan dalam Pasal 6, pasal 8 ayat 1-c dan pasal 43 ayat 1 dan ayat 8 UU No. 16/2012 mengatur kedudukan pengguna (Bakamla) dan industri Pertahanan (PT CMI Teknologi) dalam hal merumuskan spesifikasi alat peralatan pertahanan dan keamanan dalam hal ini BIIS baru tersebut.
Saut melanjutkan, BIIS baru atau IMC2-S inil menjadi salah satu program “Interoperability Kemhan yang menyatukan seluruh Puskodal bidang Keamanan Indonesia dibawah operasi Mabes TNI.
“Karena itu, pengadaan BCSS harus tunduk pada ketentuan yang diatur dalam UU No. 16/2012. Artinya, PT CMI Teknology bekerja sesuai yang diamanatkan dalam UU No. 16/2012 bahwa proyek ini harus seijin pihak Kemenhan. Jadi bagaimana bisa PT CMI Teknologi punya niat jadi pemenang kontrak kalua semua harus tunduk pada hukum yang mengaturnya?,” kata Saut.
Menyinggung soal kerugian negara yang didakwakan JPU, menurur Saut hal itupun ngawur. Sebab, IMC2-S yang dinikmati Bakamla memiliki harga yang jauh lebih murah dari barang sejenis yang diimpor dari negara lain. “Produk sejenis dngan diagran dan kapasitas sama yang diimpor itu harganya tiga kali lipat lebih mahal. Nah, kalau begini kerugian negaranya dimana?,” ujar Saut.
Terlebih, lanjut Saut, pihak BPKP Bandung yang menjadi auditor negara, ternyata tidak pernah memeriksa PT CMI Teknologi atau terdakwa. Padahal obyek yang diperiksa BPKP Bandung adalah PT CMI Teknologi.
Disisi lain, Saut juga pertanyaan kewenangan BPKP menyatakan adanya kerugian negara. Sebab, dalam Surat Edaran (SEMA) Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 tentang pemberlakuan hasil rapat pleno kamar MA Tahun 2016 sebagai pedoman pelaksanaan tugas bagi pengadilan “bahwa instansi yang berhak menyatakan adanya kerugian atau tidak ad aitu hanya BPK, bukan BPKP. Jadi ini juga jadi keanehan buat kami, kasus ini dipaksakan,” tandas Saut. (wan)