Rekonsiliasi HRS : Mungkinkah ?
Oleh : Dr. TB.Massa Djafar, akademisi dan aktivis politik
Porosberita.com, Jakarta – Kembalinya Habieb Riziek Shihab (HRS) dari “pengasingan” politik di Saudi Arabia menyimpan banyak tanda tanya, berbagai analisa, spekulasi dan harapan. Dan yang tak kalah penting, kepulangan HRS membuka ruang dinamika baru dan meningkatkan suhu politik. Apakah semakin memperkuat barisan oposisi? Hal menarik, pidato dihari kedua kepulangannya, HRS akan memainkan peran di atas oposisi. Pernyataan HRS mengundang multitafsir, apakah peran “diatas oposisi” itu, lebih agresif dari kekuatan oposisi ? Seperti yang dimainkan KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia), sebatas gerakan moral.
Pengamat politik, Rocky Gerung, mengatakan kepulangan HRS akan menguatkan barisan oposisi. Pendapat Rocky memperkuat argumentasi teoritik, sesuatu yang lazim dalam sistem demokrasi. Hal itu terjadi ketika kekuasaan hilang keseimbangan dan fungsi kontrol. Disisi lain, tuntutan masyarakat sipil praktek demokrasi yang sehat takkan pernah bisa dibungkam. Apalagi, ada kecenderungan, mekanisme demokrasi mengalami distorsi, kearah pembusukan. Hak Azasi Manusia dan keadilan dirasakan semakin jauh dari cita-cita negara hukum dan demokrasi ditengah ekonomi yang terus merosot.
Warisan Struktur Kolonial
Berawal dari kontestasi politik pilkada DKI Jakarta, pengaruh HRS tak dipungkiri dalam membangun kekuatan dan berhasil menghadang kemenangan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Pertarungan pemilihan Gubernur DKI Jakarta secara laten mengisyaratakan konflik politik yang sangat kompleks. Tidak saja menstimulasi pengentalan politik identitas, sentimen agama, etnis dan kelas. Secara manifes, makin tampak, dan sukar dibantah, bahwa pilkada DKI menjadi arena konflik dan perlawanan simbolik, antara kekuatan pemodal (kapital) dan penguasa (oligharki), dengan pribumi-islam. Meskipun, kemudian konflik politik negara dan masyarakat ini meluas dan menjadi gerakan masyarakat sipil.
Gambaran Fenomena tersebut, sejalan dengan pendapat pegiat HAM Pigai, dalam sebuah wawancaranya. Bahwa perlawanan terhadap negara hari ini tidak sebatas, kekuatan Islam. Tapi meluas ke kelompok masyarakat sipil. Argumentasi Pigai, mengkaitkan dengan kebijakan Omnibus Law. Dimana para buruh, mahasiswa, kelompok profesional melawan negara. Yaitu menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law. Sementara, pemerintahan Jokowi tetap keukuh memutuskan RUU tersebut menjadi Undang-Undang Omnibus Law.
Kemelut politik DKI dan RUU Omnibus Law, dapat dibaca, ada pergeseran format atau kepolitikan negara. Dimana cita-cita proklamasi mensejahterakan rakyat dirasakan semakin jauh. Ini bukan hal baru. Kritik keras oposisi pada kebijakan Trilogi Pembangunan pemerintahan Soeharto pada akhirnya diterima. Bukankah, mazhab pertumbuhan yang diagungkan dewa penyelamat ekonomi, bahkan jadi jargon politik saat itu gagal mewujudkan pemerataan. Yang sangat mengejutkan, rezim Orde Baru yang diangap otoriter bisa menerima kritik, kemudian mengubah dan menetapkan kebijakan pemerataan menjadi prioritas pertama.
Kenyataan yang tidak bisa dibantah baik pada zaman orde baru dan reformasi dibawah Rejim Jokowi ketimpangan semakin kuat. Pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati tidak kurang 1 % penduduk Indonesia. Ketimpangan struktural ini, tidak hanya mengena antar golongan, kelompok, kelas dalam masyarakat, pribumi dan non pribumi, juga soal pusat dan daerah.
Akar masalah yang tak pernah disentuh selama ini, adalah bagaimana menekan kesenjangan atau ketimpangan sosial ekonomi yang sangat ekstrim yang sudah ratusan tahun sejak pemerintahan kolonial. Ditambah dengan watak kekuasaan otoriter mengawetkan sruktur kolonial. Model kepolitikan otoriter cukup konsisten mem-back up kekuatan modal, atau oligharki istilah popularnya. Celakanya, model demokrasi era reformasi pun tak banyak menyentuh soal ketimpangan struktural. Publik terus dicekoki akan bahaya radikalisme, intoleran, terorisme ujungnya hanya membangun citra negatif kepada kelompok Islam. Sementara kejahatan oligharki yang menyandera nasib rakyat Indonesia, menimbulkan dampak sistemik lebih berbahaya dari terorisme.
Kini saatnya, kebijakan reformasi harus dievaluasi, terkait arah pembangunan kedepan. Apa yang diimpikan rakyat pasca reformasi Indonesia, akan menjadi negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, kini mulai bergeser ke ciri otoriter. Sebagaimana telah diingatkan oleh Levitsky dan Ziblatt (2018), bahwa gejala otoritarian baru dibeberapa negara bukan karena kekuatan militer. Tapi justru dilakukan oleh pemerintahan sipil. Dalam kaitan itu, para ahli politik Indonesia, misalnya Jeffrey A. Winters ( 2014 ), Uhaeb (2019) Anugrah (2019), berpendapat fenomena otoritarian itu sejalan tumbuhnya Oligharki pada masa rejim Orba dan menguat pada era Jokowi. Paralel dengan menguatnya politik dinasti, dan memperkuat strukur sosial, ekonomi politik warisan kolonial.
Dalam kontek global kekuatan oligharki ini terstruktur dengan kekuatan politik dan kapital dengan kehadiran negara investor. Pengalaman akan berulang, masa Orba kiblat politik dan ekonomi Indonesia ke Amerika dan Barat, kini bergeser ke China. Hegemoni oligharki dan kekuatan asing hanya akan mengembalikan watak kekuasaan masa kolonial. Oligharki mainkan peran kelompok tengah yang menghubungkan dengan kekuatan asing. Baik dari segi kolaborasi bisnis dan politik guna memuluskan kepentingan ekonomi politik. Pada model struktur kolonial seperti itu, demokrasi hanya simbol. Diperlukan hanya saat pemilu, sebagai justifikasi, legitimasi, klaim seolah mendapatkan legitimasi rakyat. Tapi representasi politik rakyat tidak menentukan dalam proses pengambilan keputusan dan penentuan kebijakan-kebijakan strategis. Politik dikelola dengan gaya otoriter.
Kepulangan HRS sangat fenomenal. Ternyata “pengasingan politik” HRS di luar negeri tak mematikan perlawanan. Bahkan HRS semakin banyak pendukung atau pengikutnya, dan simpatisan. Pembunuhan karakter terhadap HRS dan berbagai rekayasa menghambat kepulangan HRS tak berhasil dilakukan. Kini khalayak menanti apa yang akan terjadi sepulangnya HRS. Akankah ada perubahan politik dan kehidupan yang lebih damai ?
Dalam kaitan itu, ada dua poin menarik dari pernyataan HRS. Yaitu rekonsiliasi dan revolusi akhlak. HRS kemungkinan membuka ruang rekonsiliasi dengan pemerintah, didahului dengan dialog. Namun belum begitu jelas apa yang akan didialogkan dan persyaratan yang disepakati bersama pemerintah. Apakah pemerintah akan menyambut dan membuka ruang dialog sebagaimana ditawarkan oleh HRS. Respon pemerintah belum ada tanda-tanda menuju akan rekonsiliasi. Publik pasti akan menunggu bagaimana perkembangan selanjutnya. Meskipun ada pendapat, bukankah rekonsiliasi mengisyarakat perlawanan HRS melemah ? Atau bisa juga dalam arti sebaliknya. Berbagai pertanyaan dan spekulasi kepulangan HRS terus bergulir, hingga ada titik terang beberapa waktu kedepan.
Beberapa isu krusial.
Pasca Orde baru menyisakan banyak persoalan, mengingat agenda reformasi belum maksimal diwujudkan. Antara lain soal pemberantasan korupsi, pemerintahan yang bersih. Maraknya Politik Uang. Ketimpangan sosial ekonomi, HAM dan demokrasi. Rekonsiliasi tidak mungkin hanya membicarakan soal kasus diskriminasi hukum atau kesewenang wenangan penguasa kepada para oposisi, aktivis, mahasiswa, buruh dan persekusi ulama. Sepatutnya, selain masalah agenda reformasi yang mengalami stagnasi, juga soal hal-hal strategis, misalnya bagaimana pengelolaan pemerintahan dan arah pembangunan kedepan. Termasuk relasi islam dan negara yang lebih akomodatif, sebagai sumberdaya pembangunan. Tidak meneruskan rekayasa politik, yang memperhadapkan Islam vs Negara.
Dari beberapa isu yang mengemuka, justru yang paling berat adalah, soal hegemoni oligharki yang mencengkram sistem ekonomi dan politik. Apakah gagasan revolusi akhlak yang dikemukakan HRS hanya soal moral saja, tanpa mengkaitkan dengan problematik struktural ? Tentu akan beda dengan pengalaman Iran, revolusi yang digerakkan kaum Ulama dibawah kepemimpinan Khomeini, membongkar struktur ekonomi politik, sekaligus revolusi kultural, kebudayaan. Tentu untuk kasus Indonesia, ada formula tersendiri, seperti apa. Tanpa menyentuh struktur ekonomi politik, revolusi ahhlak tidak akan menyelesaikan akar persoalan nasib bangsa. Jangan sampai revolusi akhlak HRS, akan bernasib sama dengan revolusi mental ala Jokowi, senyap hilang dibawa angin.
Oleh karenanya, isu krusial dan fundamental untuk memperbaiki bangsa kedepan dan menghadapi realitas politik yang ada akan sia-sia, tanpa didukung barisan oposisi yang solid dan masif. Tentu dugaan tersebut bisa keliru, jika ada kesepahaman antara gagasan revolusi ahklak dan rekonsiliasi HRS tersambungkan dengan gagasan dan agenda kekuatan oposisi, termasuk kelompok perlawanan masyarakat sipil. Dan bisa jadi ada persamaan dengan agenda Jokowi. Sehingga bisa terbangun iklim yang kondusif kearah rekonsiliasi, menyelamatkan perpecahan bangsa.
Model Perubahan dan Peran HRS.
Belajar pengalaman demokratisasi di dunia awal 1990an, berlangsung dalam beberapa model (Huntington, 1990). Model pertama yang dikembangkan bisa diadopsi ke dalam gagasan dan strategi rekonsiliasi, bahkan hingga resiko yang dihadapi. Misalnya, untuk menekan resiko sosial, politik dan kehancuran ekonomi, model transformation adalah yang paling elegan. Dimana, pihak elitlah yang memimpin perubahan, transisi ke demokrasi atau rekonsiliasi. Ini yang dipilih ketika rejim orde baru lengser, jalan damai. Namun, pengalaman Indonesia model ini kurang efektif, kekuatan rakyat memberi cek kosong tanpa kontrol. Sehingga dalam perjalanannya banyak penumpang gelap. Kemudian, membelokkan arah perubahan, terjadi penguatan struktur ekonomi dan politik model oligharki. Dampaknya, reformasi berjalan tidak sesuai dengan harapan dan cita-cita reformasi. Malah, dalam banyak hal lebih buruk dari Orde Baru. Dalam konteks rekonsiliasi harus bisa menghasilkan perubahan yang optimal, sebagai bentuk kelanjutan cita-cita reformasi.
Model kedua, adalah model tranplacement dimana rekonsiliasi dan penyelesaian masalah dijalankan atas kekuatan berimbang. Mengambil pola negoisasi, melahirkan kesepakatan-kesepakatan dalam memperbaharui hubungan pemerintah dengan rakyat. Menyepakati agenda-agenda perubahan serta membangun Indonesia yang lebih maju dan demokratis. Pertanyaanya, apakah barisan oposisi mampu mendesak penguasa? Yaitu, mengakhiri warisan struktur kolonial yang hanya memperkuat posisi ekonomi dan politik pada segilintir orang atau hanya sekelompok elit. Kemudian adanya transformasi dan perubahan strukutural dikembalikan kepada semangat dan landasan konstitusi asli.
Jika pola transplacement tidak efektif, maka kemungkinan hanya ada dua. Pertama, penguasa akan mempertahankan status quo. Meskipun harus menggunakan kekerasan melalaui aparat keamanan, zero sum games, babat habis barisan oposisi. Jika hal itu terjadi, maka disisi lain, pasti akan medapatkan perlawanan masyarakat sipil. Dan semakin mendekatkan pada pola replacement.
Kedua, revolusi. Kemungkinan ini, sangat potensial melihat pengalaman enam tahun terakhir, gelombang ketidakpuasan rakyat tak pernah sepi baik di daerah maupun di pusat. Hanya menunggu bom waktu. Ketidakpuasan masyarakat sudah tumpang tindih dan pengentalan dalam sentiman ideologis, kesenjangan ekonomi, sentimen agama, rasis, minoritas-mayoritas, pribumi-non pribumi, pusat dan daerah. Gejala ini sangat berbahaya akan mengancam intregrasi bangsa, karena kemerosotan kapasitas negara dan kelemahan kepemimpinan bangsa mempercepat Indonesia dari ciri-ciri negara bangsa gagal (Failed state ) menuju negara runtuh (Weak State)
Asumsi diatas, bisa didalami dengan model transplacement. Dilihat dalam konteks perubahan politik kekinian masuknya kepentingan kekuatan eksternal. Yaitu, memanasnya perebutan pengaruh antara Amerika dan China. Terutama di kawasan Asia, khususnya wilayah Indonesia. Model intervention melibatkan kekuatan asing sangat terbuka, dengan agenda masing-masing untuk tetap menjadikan Indonesia sebagai negara “boneka”. Konflik kepentingan negara adidaya, akan mendorong konflik terbuka paralel dengan konflik horizontal, politik domestik, stimulan perang saudara.
Pertanyaannya, apakah rekonsiliasi, revolusi akhlak yang ditawarkan oleh HRS menyentuh dan menjawab persoalan pelik yang dihadapi bangsa ? Dan bagaimana konsensus politik yang akan dicapai? Apakah para elit politik di negeri ini masih punya political will dan berkemampuan untuk menyelesaikan beberbagai persoalan ditengah carut marut politik domestik dan tarik menarik kepentingan negara adidaya ? Kini saatnya, momentum yang tepat, untuk meneguhkan kembali garis politik luar negeri, tidak ke Barat dan Timur. Sebagai warisan bijak para founding fathers. Sehingga, rekonsiliasi memang sebuah gagasan dan panggilan moral, dimana konsolidasi kekuatan politik nasional sangat diperlukan tidak hanya mendamaikan anak bangsa. Tapi juga untuk mengembalikan kedaulatan bangsa keluar dari jebakan kekuatan new impelialisme dan colonialisme.
Kepulangan HRS dari pengasingan politik dan kehadiran beliau dalam percaturan politik nasional, harapan publik, harapan umat tidak sebatas tokoh ulama. Tetapi sebagai tokoh bangsa, memainkan peran strategis, memikul tanggungjawab historis. Yaitu menyelamatkan negara dari krisis multidimensi bersama dengan tokoh nasional lainnya. Harapan ini bukan tanpa alasan. Meskipun HRS bukan manusia “suci”, modal sosial, modal politik dan kapasitas kepemimpinan politik HRS lebih dari cukup, ditengah merosotnya kepercayaan terhadap pemimpin. (wan)