Fri. Oct 25th, 2024

Jadi Hakim MK, Independensi Arsul Sani Dipertanyakan

Arsul Sani

Porosberita.com, Jakarta – Arsul Sani resmi terpilih sebagai hakim Mahkamah Konstitusi atau MK usulan DPR untuk menggantikan Wahiduddin Adams. Setelah menjadi hakim MK, politikus PPP itu harus mundur dari DPR maupun pimpinan partai. Pelaksana Tugas Ketua Umum PPP, Muhammad Mardiono, tidak mempermasalahkan ketika Arsul Sani mundur dari partainya. Dia justru mendukung ketika kadernya yang mendapatkan amanah yang besar bagi kelangsungan bangsa dan negara. “Kami hargai sebagai sebuah pilihan,” kata Mardiono kepada Tempo saat dihubungi, Ahad, 8 Oktober 2023. Setelah diberikan kepercayaan di MK, Mardiono mengatakan Arsul memang harus mundur dan independen. Selain itu, Mardiono mengatakan Arsul Sani sudah mengundurkan diri sebagai caleg pada pemilu 2024 untuk Dapil Jateng II. Namun, sebagai pimpinan partai PPP, proses pengunduran diri Arsul Sani masih dalam proses. Dalam Pasal 15 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2020 juga dijelaskan bahwa hakim konstitusi harus bebas dari rangkap jabatan. Artinya, hakim konstitusi dilarang merangkap jabatan menjadi pejabat negara lainnya; anggota partai politik; pengusaha; advokat; atau pegawai negeri. Diketahui, sebelum menjadi Hakim Mahkamah Konstitusi, Arsul Sani merupakan Calon Legislatif dari PPP Dapil Jawa Tengah II pada Pemilu 2024, Wakil Ketua MPR RI, dan pengurus DPP Partai Persatuan Pembangunan. Independensi MK Setelah Arsul Sani terpilih, pertanyaan soal independensi Mahkaah Konstitusi menyeruak. Pakar hukum tata negara Refly Harun pun pesimistis bahwa MK akan menjadi lembaga yang kredibel dan independen. Orang yang direkrut, kata Refly, baik jalur DPR, Mahkamah Agung, atau presiden, tidak menunjukkan independensi. “Lembaga reformasi yang tidak menunjukkan semangat reformasi,” kata Refly saat dihubungi, Ahad, 8 Oktober kemarin. Refly Harun sejak awal sudah mengingatkan bahwa hakim Mahkamah Konstitusi harus diisi oleh orang yang tidak berpotensi memiliki konflik kepentingan. Selain Arsul Sani, Refly melihat Ketua MK Anwar Usman potensial memiliki konflik kepentingan. Dalam konteks Ketua Hakim MK, Anwar Usman, kata Refly, sejak awal dirinya meminta dia mundur. Apalagi, ketika Ketua Hakim MK ke-6 itu resmi menikah dengan adik Presiden Joko Widodo atau Jokowi, Idayati. “Sejak awal saya minta ketua MK mundur,” kata Refly. Gugatan terhadap UU yang ditangani MK, kata Refly, salah satu pihak yang berkepentingan adalah presiden. Dalam konflik kepentingan yang Refly maksud adalah kakak dari istrinya, yaitu Presiden Jokowi. Oleh karena itu, dia menilai tidak mungkin MK independen terhadap UU yang di situ ada kepentingan istana yang besar. Termasuk, sebut Refly, Omnibus Law dan gugatan usia calon wakil presiden yang sekarang sedang ditangani MK. Refly menilai independensi pada MK tidak diletakkan pada konflik terhadap sebuah UU yang akan diuji. Dalam kasus MK, Refly menggunakan parameter putusan terhadap presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden. Ambang batas ini merupakan aturan terkait pencalonan presiden dan wakil presiden dalam Pemilu yang wajib memiliki syarat minimal 20 persen perolehan suara atau persentase kursi di DPR untuk bisa mengajukan diri sebagai calon presiden atau calon wakil presiden. Dari sembilan hakim MK, Refly menyebut hanya ada dua hakim yang dinilai independen karena setuju presidential threshold 20 persen dihapus, yaitu Saldi Isra dan Suhartoyo. Presidential threshold ini oleh Refly dinilai pangkal dari berkuasanya oligarki di Indonesia. Lebih dari itu, kata Refly, oligarki mampu membatasi jumlah calon presiden. “MK tidak melihat itu, aneh menurut saya,” kata dia. (wan/Tempo.co)

About Author