Thu. Oct 24th, 2024

KPK Kaget Dengar Putusan MA Yang Bebaskan Syafruddin Temenggung

Laode Syarif

Porosberita.com, Jakarta – KPK mengaku kaget dan menilai aneh putusan bebas mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung oleh Makmamah Agung (MA).

“KPK tentu menghormati putusan MA. Meski, KPK merasa kaget karena putusan ini ‘aneh bin ajaib’. Sebab, ini bertentangan dengan putusan hakim PN (pengadilan negeri) dan PT (pengadilan tinggi),” ujar Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif di Jakarta, Selasa (9/7/2019).

Namun, Laode mengaku pihaknya belum menerima putusan lengkap dari MA. Karena itu, KPK belum bisa memutuskan langkah hukum selanjutnya.

Meski demikian, KPK tetap akan membebaskan Syafruddin dari rumah tahanan gedung Merah Putih KPK.

“Belum terima putusannya (MA). Makanya, sekarang kami sedang pikir-pikir dan menunggu putusan lengkap dari MA, tapi KPK harus tunduk pada putusan pengadilan,” ujar Laode.

Sebelumnya, MA mengabulkan permohonan kasasi mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan (BPPN) Syafruddin Arsyah Temenggung. MA menilai Syafruddin tidak melakukan tindak pidana sehingga harus dikeluarkan dari tahanan.

Syafruddin Arsyad Temenggung adalah terdakwa perkara korupsi penghapusan piutang Bantuan Langsung Bank Indonesia (BLBI) terhadap Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).

“Mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung tersebut. Memerintahkan agar terdakwa dikeluarkan dari tahanan,” kata Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung (MA) Abdullah membacakan salinan putusan kasasi Syafruddin di gedung MA pada Selasa (9/7/2019).

Tepat hari ini (Selasa, 9 Juli 2019) adalah masa akhir tahanan Syafruddin yang selama ini ditahan di rutan gedung KPK di belakang gedung Merah Putih KPK.

Diketahui, putusan majelis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta  pada 24 September 2018 menjatuhkan vonis 13 tahun penjara ditambah denda Rp700 juta subsider 3 bulan kurungan kepada Syafruddin Arsyad Temenggung.

Sedangkan  pada tingkat Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta tepatnya pada2 Januari 2019 , majelis hakim memperberat vonis Syafruddin menjadi pidana penjara selama 15 tahun dan denda sebesar Rp1 miliar dengan ketentuan bila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan.

Atas putusan tersebut, Syafruddin mengajukan kasasi ke MA sehingga majelis kasasi yang terdiri dari hakim Salman Luthan selaku ketua dengan anggota hakim Syamsul Rakan Chaniago dan Mohamad Asikin memutuskan membatalkan putusan pengadilan di bawahnya.

“Membatalkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No 29/PID.SUS-TPK/2018/PT DKI tanggal 2 Januari 2019 yang mengubah amar putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No 39/PID.SUS/TPK/2018/PN.JKT.PST. tanggal 24 September 2018,” ujar Abdullah.

Majelis kasasi menilai bahwa Syafruddin melakukan perbuatan yang didakwakan tapi bukan dikategorikan sebagai perbuatan pidana.

“Mengadili sendiri, menyatakan terdakwa Syafruddin Arsyah Temenggung terbukti melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan kepadanya akan tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana,” kata Abdullah.

Sehingga majelis kasasi melepaskan terdakwa tersebut oleh karena itu dari segala tuntutan hukum atau ontslag van allerechtsvervolging.

“Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya,” ujar Abdullah.

Dalam perkara ini, BDNI milik Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim adalah salah satu bank yang dinyatakan tidak sehat dan harus ditutup saat krisis moneter pada 1998. BDNI mengikuti Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dengan pola perjanjian “Master Settlement Aqcuisition Agreement” (MSAA).

Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) lalu  menentukan Jumlah Kewajiban Pemegang Saham (JKPS) per 21 Agustus 1998 memiliki utang (kewajiban) sebesar Rp47,258 triliun yang terdiri dari BLBI senilai Rp35,6 triliun dan sisanya adalah simpanan pihak ketiga maupun letter of credit.

Adapun aset yang dimiliki BDNI adalah sebesar Rp18,85 triliun termasuk di dalamnya utang Rp4,8 triliun kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM) milik Sjamsul Nursalim yang awalnya disebut Sjamsul sebagai piutang padahal sebenarnya adalah utang macet (misrepresentasi).

Dari total utang sebesar Rp4,8 triliun itu, sejumlah Rp1,3 triliun dikategorikan sebagai utang yang dapat ditagihkan (sustainable debt) dan dibebankan kepada petambak plasma dan yang tidak dapat ditagihkan (unsustainable debt) sebesar Rp3,5 triliun yang dibebankan kepada Sjamsul sebagai pemilik PT DCD dan PT WM berdasarkan keputusan KKSK pada 27 April 2000 yang dipimpin Kwik Kian Gie.

Namun berdasarkan keputusan KKSK pada 29 Maret 2001 yang dipimpin Rizal Ramli, utang yang dapat ditagih menjadi Rp1,1 triliun dan utang tidak dapat ditagih menjadi Rp1,9 triliun berdasarkan kurs Rp7000/dolar AS. Sjamsul tetap menolak membayarkan utang tersebut.

Selanjutnya, Syafruddin memerintahkan anak buahnya membuat verifikasi utang tersebut dan berkesimpulan seluruh utang “sustainable” dan “unstainable” adalah Rp3,9 triliun dengan kurs Rp8500/dolar AS pada 21 Oktober 2003 yang dilaporkan dalam rapat terbatas pada 11 Februari 2004 yaitu utang yang dapat ditagih ke petambak Rp1,1 triliun dan utang tak tertagih Rp2,8 triliun.

Pada 13 Februari 2004 di bawah kepemimpinan Dorodjatun, KKSK menyetujui penghapusan utang PT DCD dan PT WM sehingga tinggal utang petambak senilai Rp1,1 triliun dengan rincian utang petambak menjadi Rp100 juta/petambak dikalikan 11 ribu petambak dari tadinya utang Rp135 juta/petambak.

Namun, saat dijual ke investor, dana untuk negara tinggal Rp220 miliar karena Rp880 miliar dipergunakan sebagai utang baru petambak yaitu Rp80 juta/petambak sehingga pendapatan negara yang seharusnya Rp4,8 triliun menjadi tinggal Rp220 miliar atau negara dirugikan Rp4,58 triliun berdasarkan audit investigasi BPK RI. ( )

About Author