Wed. Jan 8th, 2025

Saldi Isra Diadukan ke Majelis Kehormatan MK

Porosberita.com, Jakarta – Dewan Pimpinan Pusat Advokasi Rakyat untuk Nusantara (DPP ARUN) mengadukan hakim konstitusi Saldi Isra ke Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Ketua Umum DPP ARUN Bob Hasan menilai pernyataan Saldi Isra tak dapat dikatakan sebagai dissenting opinion. “Itu bukan bentuk dissenting opinion. Amar putusan harus ditaati. Namun demikian, akibat dari dissenting opinion yang subjektif dan membunuh karakter hakim konstitusi lain. Itu yang kita laporkan,” kata Bob kepada wartawan di gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (19/10/2023). Bob lantas menyoroti ucapan Saldi dalam pertimbangannya yang mengaku heran atas perubahan putusan MK yang dinilai sangat cepat. Dia mengatakan hal itu justru mempengaruhi persepsi publik terhadap putusan MK. “Karena itu, DPP ARUN melaporkan hakim konstitusi ini yang telah menyatakan sesuatu yang bisa meluluhlantakkan marwah MK,” ucapnya. Pada kesempatan yang sama, Kepala Bidang Hukum ARUN Yudi Rijali Muslim mengatakan putusan MK lahir dari serangkaian proses sidang. Menurutnya, putusan seyogianya telah didiskusikan secara matang oleh para hakim konstitusi. “Padahal sudah sedari awal permohonan judicial review ini tentu melalui proses perbaikan, lalu kemudian pembacaan, terus kemudian lanjut kepada saksi-saksi, bahkan kemudian ahli,” jelasnya. “Artinya opini yang disampaikan oleh Profesor Saldi Isra pada kesempatan kemarin dalam putusan, seolah-olah mengesampingkan proses persidangan yang telah dilalui oleh seluruh majelis mahkamah konstitusi,” sambungnya. Lebih lanjut, menurutnya, ucapan Saldi terkait kebingungannya atas putusan itu terkesan provokatif sehingga menyebabkan publik gagal paham akan putusan MK. “Akhirnya masyarakat tidak bisa mampu mencerna secara baik isi putusan, begitu juga dalam proses rangkaian, proses persidangan, yang masyarakat tahu adalah statement-nya beliau,” imbuh Yudi. “Itulah kemudian yang dijadikan sebagai meme-meme sehingga akhirnya opini di masyarakat kesannya adalah mengkreditnya ‘Mahkamah Konstitusi’ menjadi ‘Mahkamah Keluarga’. Kemudian Mahkamah kesannya kemudian tidak ada marwah dalam proses penegakan hukum,” ucapnya. Detikcom mencoba mengkonfirmasi perihal pengaduan tersebut kepada Juru Bicara (Jubir) Mahkamah Konstitusi Fajar Laksono. Namun, belum ada respons. Pernyataan Saldi Isra Empat hakim konstitusi berbeda pendapat atau dissenting opinion dalam putusan ini. Hakim konstitusi tersebut ialah Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Suhartoyo. Dalam pertimbangnnya, Saldi Isra mengaku heran atas perubahan putusan MK yang dinilai sangat cepat. “Saya hakim konstitusi Saldi Isra memiliki pandangan berbeda atau dissenting opinion. Menimbang bahwa terhadap norma yang termaktub dalam Pasal 169 huruf q Undang-Undang 7/2017 amar putusan Mahkamah Konstitusi nomor 90/PUU-XXI/2023 a quo menyatakan ‘persyaratan menjadi calon presiden dan wapres adalah q: berusia paling renda 40 tahun’, dimaknai menjadi ‘persyaratan menjadi capres dan cawapres adalah q ‘berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pilihan kepala daerah’,” ujar Saldi Isra di sidang MK, Senin (16/10/2023). Saldi, yang juga Wakil Ketua MK, mengaku bingung soal adanya penentuan perubahan keputusan MK dengan cepat. Menurutnya, hal tersebut jauh dari batas penalaran yang wajar. “Bahwa berkaitan dengan pemaknaan baru terhadap norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tersebut, saya bingung dan benar-benar bingung untuk menentukan harus dari mana memulai pendapat berbeda (dissenting opinion) ini. Sebab, sejak menapakkan kaki sebagai hakim konstitusi di gedung Mahkamah ini pada 11 April 2017, atau sekitar enam setengah tahun yang lalu, baru kali ini saya mengalami peristiwa ‘aneh’ yang ‘luar biasa’ dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar: Mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat,” paparnya. “Sebelumnya, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU XXI/2023, Mahkamah secara eksplisit, lugas, dan tegas menyatakan bahwa ihwal usia dalam norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 adalah wewenang pembentukan undang-undang untuk mengubahnya. Padahal, sadar atau tidak, ketiga putusan tersebut telah menutup ruang adanya tindakan lain selain dilakukan oleh pembentuk undang-undang,” sambungnya. Saldi mengakui MK memang pernah mengubah keputusan yang dibuatnya. Namun, kata dia, perubahan itu tidak dilakukan secara cepat seperti dalam perkara ini. “Apakah Mahkamah pernah berubah pendirian? Pernah, tetapi tidak pernah terjadi secepat ini, di mana perubahan terjadi dalam hitungan hari. Perubahan demikian tidak hanya sekadar mengesampingkan putusan sebelumnya, namun didasarkan pada argumentasi yang sangat kuat setelah mendapatkan fakta-fakta penting yang berubah di tengah-tengah masyarakat,” ungkapnya. “Pertanyaannya, fakta penting apa yang telah berubah di tengah masyarakat sehingga Mahkamah mengubah pendiriannya dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 dengan amar menolak sehingga berubah menjadi amar mengabulkan dalam putusan a quo?” imbuh Saldi. Saldi lantas mengatakan rapat musyawarah hakim (RPH) pada 19 September 2023 memutuskan perkara nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023. Saat itu, Ketua MK Anwar Usman tidak hadir dalam RPH. “Hasilnya, enam hakim konstitusi sebagaimana amar putusan MK nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 sepakat menolak permohonan, tetap memposisikan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagai kebijakan hukum terbuka pembentuk UU, sementara itu dua hakim konstitusi lain memilih sikap berbeda,” jelasnya. Kemudian, dalam RPH berikutnya masih berkenaan dengan norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017, kata Saldi, pembahasan dan pengambilan putusan permohonan gelombang kedua, in casu perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 dan perkara nomor 91/PUU-XXI/2023. RPH tersebut dihadiri oleh sembilan hakim konstitusi. “Beberapa hakim konstitusi yang dalam perkara nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 telah memosisikan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagai kebijakan hukum terbuka pembentuk UU. Tiba-tiba menunjukkan ketertarikan dengan model alternatif yang dimohonkan di dalam perkara petitum 90/PUU-XXI/2023,” ujarnya. “Padahal, meski model alternatif yang dimohonkan oleh pemohon dalam perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 secara substansial telah dinyatakan sebagai kebijakan hukum terbuka dalam putusan MK nomor 29-51-55/PUU-XXI/202,” tambah dia. Saldi menilai, berkenaan dengan hal itu, seharusnya secara prinsip hakim harus terikat dan mengikatkan dirinya dengan hukum acara. Dia pun mengatakan keputusan dapat bergeser jika masih ada ketersambungan dengan alasan-alasan permohonan. “Namun setelah membaca secara komprehensif dan saksama Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, alasan permohonan (petitum) jelas-jelas bertumpu pada ‘berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota’. Bahkan, secara kasatmata, permohonan Nomor 90/PUU-XXI/2023 menggunakan ‘pengalaman’ sekaligus ‘keberhasilan’ Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka sebagai acuan,” paparnya. “Artinya, permohonan Nomor 90/PUU-XXI/2023 tidak menyandarkan alasan-alasan permohonannya pada pejabat yang dipilih (elected official). Dengan adanya lompatan kesimpulan seperti termaktub dalam amar putusan a quo, tidak salah dan tidak terlalu berlebihan munculnya pertanyaan lanjutan: haruskah Mahkamah bergerak sejauh itu?” imbuh dia. (wan/detikNews.com)

About Author