Mon. Jan 13th, 2025

Kaum Muda Dambakan Sosok Pemimpin Jujur

M. Daffa Ridwan

Oleh : Muhammad Daffa Ridwan

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta

Porosberita.com, Jakarta – Sehari sesudah Abu Bakar as-Shiddiq dilantik menjadi seorang khalifah untuk memimpin kaum Muslimin, esok paginya ia pergi ke pasar Madinah untuk berjualan. Ia tetap seperti biasanya menjalani profesinya sebagai saudagar.

Beberapa sahabat lain pun protes kepada beliau. “Wahai Amirul Mukminin, jika engkau berjualan di pasar, lantas siapa yang akan mengurusi kami?” tanya salah seorang sahabat.

Abu Bakar juga membalas pertanyaan itu dengan pertanyaan. “Jika saya tidak berdagang, lantas bagaimana saya menghidupi keluarga saya?” ujar beliau.

Akhirnya, para sahabat kala itu bermusyawarah dan menetapkan gaji untuk Khalifah pertama itu. Gaji yang diberikan hanya sebatas untuk bisa menghidupi Abu Bakar dan keluarganya. Setelah itu, Abu Bakar tidak lagi berjualan di pasar dan mengurusi negara hingga dua tahun berikutnya ia dipanggil menghadap Allah SWT. Demikian seperti dikisahkan dalam Bidayah wan Nihayah karya Ibnu Katsir.

Begitulah kepemimpinan yang dicontohkan seorang sahabat yang paling dekat dengan Rasulullah itu. Ia mengajarkan, kekuasaan dan jabatan bukanlah media untuk mencari kekayaan. Amanah yang terpikul di pundaknya bukanlah alat untuk mengumpulkan harta. Memimpin rakyatnya semata-mata untuk menjalankan amanah.

Hal yang sama juga dicontohkan oleh khalifah sesudahnya, Umar bin Khattab. Banyak kisah mengharukan yang dicontohkan Umar bin Khattab. Ketika beliau didatangi anaknya di kantornya, ia pun mematikan lampu dan menggantinya dengan lampu api kecil miliknya. Alasan Umar, kedatangan anaknya bukan dalam urusan negara. Jadi, tidak pantas untuk memakai lampu negara. Kendati ia seorang presiden, Abdullah bin Umar, putranya memiliki 16 buah tambalan di bajunya. Kendati ia seorang kepala negara, ia pernah hampir terlambat datang waktu shalat jumat karena menunggu baju satu-satunya kering dijemur.

Tak ada alasan untuk memanfaatkan jabatan untuk korupsi atau memperkaya diri waktu di zaman sahabat dahulu. Sesuatu yang jelas berbeda terlihat ketika masa kampanye saat ini. Sudah menjadi pameo di masyarakat, sekian miliar dana yang digelontorkan seorang caleg di masa kampanye. Tentu setelah ia duduk sebagai anggota dewan, ia akan mengembalikan lagi uangnya yang hilang waktu kampanye. Orientasi menjadi caleg sebagai alat untuk memperkaya diri. Sungguh sudah sangat jauh dari apa yang dicontohkan Abu Bakar dan Umar Bin Khattab.

Rasulullah dalam sabdanya, “Setiap daging yang tumbuh dari yang haram, maka api neraka lebih berhak baginya.” (HR Ahmad).

Apakah tidak ada lagi yang takut pada api neraka, sehingga menjadikan jabatan sebagai sarana memakan harta haram? Tidakkah cukup kekayaan yang sudah diberikan Allah, sehingga harus mati-matian mencari jabatan untuk memakan uang haram? Tentu mereka ini tak akan mencium surga Allah di akhirat kelak.

Lain masa, lain pula penduduk dan kisahnya, jika tadi adalah contoh kejujuran yang dinukil dari kisah para sahabat Rasulullah S.A.W, maka kini kita ambil contoh dari tokoh pendekar hukum di Indonesia, saya banyak mendengar dan membaca soal kisah salah seorang pendekar hukum Indonesia, seperti yang saya kutip sebagian dari biografi tentang kisah kejujuran beliau.

Seorang mantan Jaksa Agung di era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, Baharuddin Lopa. Setelah 20 tahun berpulang, tepatnya tanggal 3 Juli 2001 beliau menghembuskan nafas terakhir di Riyadh, Arab Saudi. Namanya masih melegenda sebagai sosok pendekar hukum yang lekat dengan semangat antikorupsinya. Baharuddin Lopa yang juga pernah menjabat sebagai Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia itu dikenal sebagai sebagai sosok yang berani, jujur, sederhana, dan berintegritas tinggi dalam menegakkan hukum.

Pria kelahiran Polewali Mandar, Sulawesi Barat, itu dikenal berprestasi sejak usia muda. Bagaimana tidak? Saat usianya baru 23 tahun dan masih menjadi mahasiswa hukum di Universitas Hasanudin, Lopa telah berkarir sebagai jaksa di Kejari Makassar pada tahun 1958. Kemudian, di usianya yang baru 25 tahun ia dilantik menjadi Bupati Pertama Majene, Sulawesi Barat. Selang dua tahun, Lopa lantas menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi di sejumlah wilayah, mulai dari Ternate, Aceh, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Pusdiklat Kejaksaan Agung di Jakarta, hingga menjadi Jaksa Agung meski dengan masa jabatan yang singkat karena beliau mangkat.

Selama memegang jabatan publik dan berkarier sebagai jaksa, Lopa menunjukkan integritas dirinya dengan tidak berkompromi pada hal-hal berbau korupsi. Ia tak gentar mengusut kasus-kasus korupsi kelas kakap yang menyangkut para konglomerat Indonesia. Tanpa pandang bulu, Lopa bahkan pernah menjebloskan mantan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Indonesia Bob Hasan, termasuk mengusut dugaan kasus korupsi mantan Presiden Soeharto. Bahkan atas nama keadilan dan kebenaran, ia pernah mengusut kasus pengadaan fiktif Al-Quran senilai Rp 2 juta yang menyangkut karibnya sendiri, K.H. Badawi, sebagai Kepala Kanwil Agama Sulawesi Selatan saat itu. Lopa yang anti dengan pemberian hadiah dalam bentuk apa pun itu pernah menulis di kolom surat kabar, “Jangan berikan uang kepada para jaksa. Jangan coba-coba menyuap para penegak hukum, apa pun alasannya!”.

Selain jujur dan berani, sosok Lopa juga dikenal dengan kesederhanaannya dan tidak mau memanfaatkan fasilitas kedinasan di luar keperluan bekerja atau untuk urusan keluarga. Telepon dinas di rumahnya selalu dikuncinya dan ia melarang siapa pun di rumahnya memakainya. Pria kelahiran 27 Agustus 1935 itu juga melarang istrinya menggunakan mobil dinas meski hanya untuk pergi ke pasar atau untuk anaknya berangkat sekolah. Lopa pernah pula mengembalikan bensin mobil dinas yang diisikan oleh rekan sesama jaksa.

Karena itu untuk menambah penghasilannya, Lopa rajin menulis kolom di berbagai majalah dan surat kabar, hingga membuka rental play station dan warung telekomunikasi di samping rumahnya. Pada 1970-an saat menjabat sebagai Kajati Sultra, Lopa bahkan pernah menyuruh ajudannya untuk menyerahkan uang Rp 100 ribu pemberian hadiah dari Gubernur Sulawesi Tenggara kala itu, ke panti jompo di Kendari yang mana nilai uang tersebut terbilang besar pada masanya. Parcel yang datang ke rumahnya pun akan selalu ia kembalikan. Beliau mengatakan, “Dirinya tidak perlu diberi hadiah karena ia memiliki gaji, yang perlu diberi hadiah adalah rakyat yang susah”.

Selain itu sebagai seorang pejabat, Lopa justru memilih penawaran mobil yang paling murah yakni mobil Corona senilai Rp 30 juta, yang ia bayar dengan cara dicicil kepada Jusuf Kalla yang dahulu merupakan pengusaha otomotif di Makassar. Lopa melakukan itu semua bukan karena ia melarat, namun kesederhanaan memang ia pilih sebagai jalan hidup sekalipun dilingkupi dengan berbagai fasilitas kemewahan sebagai seorang pejabat. Setidaknya, pria yang pernah menjabat sebagai Duta Besar RI untuk Arab Saudi itu pernah mencatatkan kekayaan pribadinya senilai Rp 1,9 miliar dan simpanan 20 ribu dollar AS. Lopa sendiri pun merupakan keturunan bangsawan, kakeknya yang bernama Mandawari adalah seorang Raja Balangnipa yang juga dikenal bersahaja di wilayah Polewali Mandar, Sulawesi Selatan. Wilayah ini sekarang masuk ke dalam Provinsi Sulawesi Barat.

Lantas, apakah yang dapat kita petik dari kisah-kisah tersebut diatas? Kami para kaum muda menginginkan sosok pemimpin seperti mereka yang jujur, dan bersih. Tidak hanya sekedar pencitraan saja, ketika kampanye mereka mengatakan bahwa akan memakmurkan masyarakat, menciptakan lapangan kerja yang luas, memperbaiki sistem pendidikan, mewujudkan negeri Baldatun Thoyibatun warobbun Ghofur, namun sayangnya realita berkata lain.

Mereka yang berkampanye ketika pesta politik akan menggelontorkan uangnya hingga ratusan miliar, lantas langkah apa yang berikutnya akan dilakukan ketika mereka berhasil mendapatkan kedudukan di pemerintahan? Apakah mereka akan melaksanakan janji-janji manis yang mereka kemukakan saat berkampanye? Nyatanya, banyak dari mereka yang memanfaatkan jabatan yang diamanahkan oleh rakyat untuk mereka gunakan sebagai media mengembalikan harta yang mereka keluarkan, bahkan hingga memperkaya diri, keluarga, serta kelompoknya, Naudzubillah Min Dzalik, ingatlah wahai para pemimpin dan wakil rakyat, sesungguhnya akan ada pengadilan paling adil di akhirat kelak.

Meski begitu, saya dan para kaum muda lainnya masih memiliki sedikit keyakinan bahwa ada orang yang jujur dan bersih dinegeri yang berasaskan Pancasila ini yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan keadilan karena itu akan muncul sosok pemimpin dan wakil rakyat yang Amanah, jujur dan adil, Wallahu a’lam bi as-showab. (*)

About Author