Demokrasi – Plutokrasi Ala Indonesia
(Catatan Demokrasi 76 Tahun Indonesia Merdeka)
Oleh: M. Daffa Ridwan
Mahasiswa Fak. Hukum Univ. Muhammadiyah Jakarta
Aktivis Himpunan Mahasiswa Islam
Aktivis Garda Bumi Putera
Porosberita.com, Jakarta – Menilik sejarah bangsa, Indonesia mengalami banyak gejolak menuju bentuk pemerintahan demokratis yang didambakan.
Berawal dari kerajaan yang tersebar di seluruh Nusantara menjadi cikal bakal terbentuknya Negara Republik Indonesia yang lebih modern setelah kemerdekaan. Bangsa Indonesia pada masa penjajahan berbentuk kerajaan dengan sistem pemerintahan monarki yang dipimpin oleh Raja atau Sultan, dalam sistem ini suksesi kepemimpinan diatur berdasarkan garis keturunan.
Setelah Bangsa Indonesia berhasil memerdekakan diri dari cengkraman penjajah, maka lahirlah negara modern berbentuk Republik. Pada masa awal kemerdekaan atau dikenal dengan periode Orde Lama (Orla) dibawah kepemimpinan Soekarno sebagai Presiden, dengan sistem presidensial sebagai sistem pemerintahannya, yang kemudian diubah menjadi sistem parlementer dan liberal pada kurun waktu dari tahun 1945-1950. Namun sistem pemerintahan itu tidak bertahan lama, dan berakhir pada 5 Juli 1959 dimana Presiden Soekarno memerintahkan pembubaran konstituante hasil pemilu 1955, penggantian Undang-Undang Dasar Sementara 1950 dengan memberlakuan kembali Undang- Undang Dasar 1945.
Presiden Soekarno mengumumkan sistem demokrasi terpimpin dalam pembukaan Sidang Konstituante 10 November 1956
Di masa demokrasi terpimpin ini banyak terjadi penyimpangan seperti, presiden membubarkan DPR hasil pemilu 1955, serta MPRS mengangkat Soekarno sebagai presiden seumur hidup.
Pasca ‘tumbangnya’ Orla, beralih ke era pemerintahan Soeharto atau dikenal era Orba tahun 1966, Pada masa ini, Soeharto berkuasa hingga 32 tahun. Soeharto dipilih sebagai presiden melalui sidang MPR, namun sebagian pihak menilai cara ini tidak demokratis. Karena rakyat tidak dilibatkan secara langsung dalam proses pemilihan presiden. Meski sebagian lagi menganggap cara itu merupakan wujud dari sila ke-4 Pancasila, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Artinya suara rakyat diwakili oleh anggota parlemen di MPR.
Hingga akhirnya era Orba pun ‘jatuh’ pada tahun 1998, ditandai dengan mundurnya Soeharto sebagai presiden RI dan digantikan oleh Wapres B.J Habibie. Di era Habibie ini, kehidupan demokrasi lebih terasa, masyarakat sipil lebih dilibatkan dalam pengambilan kebijakan. Hak-hak sipil lebih dihargai, seperti kebebasan berkumpul, berserikat dan bersuara.
Namun, masa kepemimpinan B.J Habibie hanya seumur jagung, Ia hanya menjabat setahun setelah laporan pertanggungjawabannya ditolak oleh MPR.
Pada tahun 1999 atau setelah lengsernya B.J Habibie, masuklah babak baru kehidupan demokrasi Indonesia, Gus Dur dan Megawati terpilih sebagai Presiden dan Wapres melalui sidang paripurna MPR. Meski pilpres masih melalui sidang paripurna MPR, namun Golkar dan ABRI (TNI) sudah tidak mendominasi.
Pada pemilu legislatif pertama era reformasi itu, sebanyak 48 parpol menjadi peserta pemilu.
Seiring perjalanan waktu, dibuatlah syarat prosedural (UU Parpol 2011) mewajibkan syarat pendirian partai politik memiliki kepengurusan di 100 persen provinsi, 75 persen kabupaten/kota dan 50 persen kecamatan dari kabupaten/kota yang bersangkutan serta partai harus memiliki kantor tetap di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahap akhir Pemilu. Semua ini tentu membutuhkan dana yang cukup besar.
Begitupun dengan munculnya pemberlakuan syarat ambang batas perolehan suara baik parliamentary threshold maupun presidential threshold pada tahun 2012.
Pertanyaanya, apakah kebijakan tersebut mendorong kehidupan lebih demokratis, atau sebaliknya? Apakah demokrasi yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi sudah terpenuhi?
Pertanyaan itu muncul karena faktanya telah terjadi praktik ‘politik kartel’, dimana politik dikuasai dan dikendalikan oleh sekelompok kekuatan, yakni kekuatan sejumlah pemodal besar yang bergabung dengan para politisi atau parpol. Pada akhirnya, hanya memperkokoh kekuasaan elite oligarki di pentas politik Tanah Air.
Semua ini semakin menjadikan sistem politik kita berubah menjadi plutokrasi (sistem kekuasaan yang dikuasai dan dikendalikan oleh pemilik modal besar), imbasnya terjadi mobilisasi politik bukan partisipasi politik. Keterlibatan rakyat dalam pesta demokrasi tidak dilandasi oleh keinginan pribadi, mereka hadir karena digerakkan oleh kekuatan modal atau uang.
Hal ini menjadikan politik telah kehilangan kesakralannya sebagai upaya meraih keadilan dan kesejahteraan sosial, dan yang pasti rakyat kehilangan kedaulatannya. (*)