Fri. Jan 10th, 2025

Boyamin Desak Pemerintah dan DPR Buat UU Pengetatan Remisi Koruptor

Porosberita.com, Jakarta – Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) mendesak pemerintah dan DPR membuat undang-undang (UU) yang mengatur pengetatan remisi pada narapidana korupsi alias koruptor. Hal itu dilontarkan Koordinator MAKI, Boyamin Saiman pasca putusan Mahkamah Agung (MA) mencabut dan membatalkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 yang dikenal dengan PP Pengetatan Remisi Koruptor.

“Prinsipnya saya menghormati putusan pengadilan termasuk putusan Mahkamah Agung dalam judicial review bagaimana berlaku azas res judicata, di mana menghormati putusan pengadilan walaupun dirasa salah,” kata Boyamin kepada wartawan, Jumat (29/10/2021).

Menurutnya, remisi terhadap napi korupsi ini memang menjadi dilema sejak lama. Sebab undang-undang menyebutkan bahwa setiap narapidana berhak mendapatkan remisi.

“Dan khusus untuk remisi dan lain sebagainya diskon terhadap napi korupsi memang sejak awal sebagai dilema, karena apapun di undang-undang disebutkan semua napi berhak mendapatkan remisi, asimilasi maupun bebas bersyarat atau pengurangan-pengurangan yang lainnya termasuk grasi mereka juga punya hak,” tandasnya.

Untuk itu, Boyamin mendorong agar pemerintah dan DPR menyusun undang-undang mengenai pengetatan remisi bagi narapidana korupsi. Hal itu, kata Boyamin perlu diatur oleh Undang-Undang.

“Kalau memang mau niatnya itu sebagai pembatasan korupsi, narkoba dan teroris itu tidak berhak mendapatkan remisi ya harus dalam konteks diatur oleh undang-undang, jadi harus diputuskan oleh pemerintah dan DPR sebagai produk sebuah undang-undang, bukan di peraturan pemerintah. Karena UU mengatakan itu hak semua napi, tapi Peraturan Pemerintah kemudian membatasi, memang menjadi seperti mengurangi haknya yang diatur undang-undang. Maka sebaiknya kalau mau dilakukan pengurasan atau pembatasan untuk remisi koruptor maka diatur oleh undang-undang bukan diatur oleh Peraturan Pemerintah. Nanti kalau diatur Undang-Undang maka sah karena disetujui rakyat melalui DPR,” desaknya.

Untuk membatasi remisi bagi narapidana korupsi, maka Boyamin pun mendorong hakim yang mengadili kasus korupsi itu mencabut hak remisi bagi para koruptor. Sehingga mereka tidak memiliki hak untuk mendapatkan remisi.

“Hak ini hanya bisa dikurangkan oleh hakim, maka kita dorong hakim dalam memberikan putusan selain memutus penjara juga harus mencabut hak. Nah selama ini kan hak politik yang dicabut, maka nanti yang berikutnya adalah hak untuk mendapatkan remisi juga dicabut kalau memang si terdakwa atau pelaku korupsi harus dibuat jera, selain dihukum berat juga kemudian dicabut haknya adalah hak untuk mendapatkan remisi dan pengurangan-pengurangan lainnya,” jelasnya.

“Soal nanti berikutnya belum ada undang-undang dan putusan hakim memang ya mau ndak mau kita harus mengikuti pola konsepsi lembaga pemasyarakatan adalah pembinaan, kalau yang lain dapat remisi maka saya tak bisa menolak remisi,” pungkasnya.

Sebelumnya, Mahakamah Agung telah mengabulkan uji materi atas beberapa Pasal di PP Nomor 99 Tahun 2012 yang mengatur mengenai pengetatan remisi bagi koruptor.

Uji materi itu diajukan oleh Subowo dan empat orang lainnya yang merupakan kepala desa serta warga binaan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas I Sukamiskin, Bandung.

“Putusan: Kabul HUM (Hak Uji Materiil),” demikian bunyi putusan yang telah dibenarkan oleh Juru Bicara MA, Andi Samsan Nganro. (wan)

About Author